Ketika garam dikumpulkan dari wilayah Laut Mati, ada garam yang asin dan baik untuk bumbu dapur, ada pula garam yang tawar. Garam yang tawar ini tidak dibuang, tetapi disimpan di Bait Allah di Yerusalem. Pada musim dingin ketika hujan turun, ubin pelataran Bait Allah menjadi licin, dan garam tawar itu ditaburkan untuk mengurangi kelicinan. Begitulah, garam yang tawar itu diinjak-injak orang banyak.
Garam memiliki ciri-ciri yang menggambarkan bagaimana seharusnya pengaruh umat beriman terhadap kehidupan dunia sekitarnya. Garam biasanya digunakan sebagai penyedap rasa. Orang percaya seharusnya menegakkan ke-sadaran moral suatu bangsa, sehingga dalam setiap aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan, dapat dirasakan adanya pengaruh dari cara-cara Allah. Jika digunakan untuk menggarami buah anggur, garam membuat buah itu terasa manis. Orang percaya seharusnya dapat pula “memaniskan” kepahitan hati orang-orang yang merasa tertindas dan tersingkir.
Garam dapat digunakan untuk mematikan rumput-rumput liar yang tumbuh pada retakan jalan setapak. Pelanggaran moral yang terjadi di bangsa ini seharusnya dapat dilenyapkan oleh pengaruh jemaat Tuhan. Garam dapat melembutkan es. Kita seharusnya dapat “mencairkan” kebekuan hati orang yang mengeraskan diri dan menentang kebenaran Allah. Dan garam dapat mengawetkan makanan atau membuatnya tidak segera membusuk. Umat kristiani seharusnya juga mempunyai pengaruh yang melindungi bangsa ini dari kemerosotan moral.
Apakah kita ‘asin’ dan memberi dampak bagi lingkungan sekitar kita?
Gereja yang hidup adalah satu-satunya harapan bagi dunia yang sekarat (Andrew Murray).
(CK)